Minggu, 24 Mei 2009
30 Penyakit Muncul Akibat Pemanasan Global
Jakarta (ANTARA News) - Berdasarkan Data Organisasi Kesehatan dunia (WHO) sepanjang tahun 1976-2008, sebanyak 30 penyakit baru muncul akibat perubahan iklim dan pemanasan global.
Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup, Amanda Katil Niode di sela-sela penganugerahan Raksaniyata 2008 di Jakarta, Jumat mengatakan, munculnya penyakit ini karena temperatur suhu panas bumi yang terus meningkat.
"Yang paling jelas kelihatan penyakit demam berdarah, kolera, diare, disusul virus ebola yang sangat mematikan," katanya.
Menurut dia, masalah kesehatan akibat pemanasan global memang sangat dirasakan parahnya oleh negara-negara berkembang yang sebagian masih miskin, karena minimnya dana sehingga tak mampu lagi melaksanakan berbagai program persiapan dan tanggap darurat.
Untuk mengatasi dampak buruk perubahan iklim terhadap kesehatan manusia itu, tidak bisa dilakukan sendiri oleh masing-masing negara.
Upaya itu baru akan berhasil jika dilakukan melalui kerjasama global, seperti misalnya meningkatkan pengawasan dan pengendalian penyakit-penyakit infeksi, memastikan penggunaan air tanah yang kian surut, dan mengkoordinasikan tindakan kesehatan darurat.
"Itu semua penting dilakukan, karena perubahan iklim jelas-jelas akibat dari kegiatan manusia yang tak peduli terhadap keseimbangan alam, yang kemudian berimplikasi serius terhadap kesehatan publik," ujarnya.
Selain menyebabkan gangguan kesehatan, perubahan iklim juga mengakibatkan berbagai bencana alam yang sangat besar. Sepanjang tahun 2006 telah terjadi 390 bencana besar di dunia yang banyak menelan korban.
"Amerika Serikat paling banyak terjadi bencana dibanding negara-negara lain, tetapi untuk jumlah korban paling banyak saat tsunami terjadi di Aceh pada 2004 lalu," jelasnya.
Di Indonesia sendiri, kata dia, bencana alam banyak terjadi akibat kesadaran masyarakat yang lemah, seperti pembalakan liar, kebakaran hutan, dan pembuangan karbon dioksida (CO2). Agar bencana alam dapat diminimalisir diperlukan sinkronisasi antara pemerintah, dunia usaha dan individu.
Rabu, 13 Mei 2009
Teknologi Pengecetan Radiasi Lebih Ramah Lingkungan
Teknologi radiasi nuklir ternyata dapat dipakai untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi proses pelapisan permukaan. Pemanfaatan teknologi tersebut bahkan dinilai ramah lingkungan dan jauh lebih efisien dibandingkan dengan cara konvensional.
Radiasi yang dipakai dalam proses pelapisan produk industri adalah radiasi untraviolet (UV) dan berkas elektron. Komponen utama bahan kimia pelapis pada proses konvensional terdiri dari komponen pembentuk lapisan (film forming components) dan komponen pembantu (auxiliary components). Sedangkan bahan pelapisan dengan pemadatan secara radiasi terdiri dari resin (prapolimer/oligomer tak jenuh), monomer, dan aditif.
Uraian di atas merupakan bagian dari orasi Sugiarto Danu dalam rangka pengukuhannya sebagai Profesor Riset bidang Polimerisasi Radiasi di Gedung Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Jakarta, Senin (20/4).
"Proses pelapisan ini diaplikasikan untuk berbagai produk industri, misalnya bahan bangunan seperti cat, mebel, otomotif, peralatan rumah tangga dan barang-barang cetakan," kata Sugiarto yang adalah ahli peneliti utama bidang polimerisasi radiasi di BATAN.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa penggunaan teknologi radiasi ini tidak mencemarkan lingkungan karena bahan pelarut yang pelapisnya tidak menggunakan bahan pelarut yang mudah menguap sehingga menimbulkan pencemaran udara. Sedangkan efisiensinya, katanya, ditunjukkan dengan pemadatan yang sangat cepat sehingga kapasitas produksi jauh lebih besar.
Memasuki era globalisasi dan kesadaran yang semakin tinggi tentang pentingnya lingkungan, berhasil memberikan dorongan untuk meluaskan penggunaan teknologi ini di masa datang, ungkap Sugiarto yang judul orasinya Status dan Perkembangan Aplikasi Teknologi Radiasi untuk Pelapisan Permukaan berbagai Produk Industri di Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)