Selasa, 01 September 2009

Pohon Bukan Solusi Pemanasan Global


Apa yang dulu dipandang sebagai solusi untuk masalah emisi gas CO2, yakni kemampuan pohon menyerap karbondioksida hasil aktivitas manusia (CO2 antropogenik), kini mulai diragukan "keampuhannya" karena fenomena pemanasan global tetap saja terjadi.
Sebuah penelitian selama 20 tahun yang menganalisa 30 titik di Kutub Utara mendapati bahwa kemampuan pohon menyerap CO2 terus menurun, padahal saat ini berkembang kampanye yang menyebutkan bahwa dengan menanam banyak pohon maka laju perubahan iklim bisa ditekan.

Gas karbondioksida yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia biasanya diserap oleh pohon dan laut, untuk kemudian dilepaskan pada masa yang akan datang. Tapi ini bukanlah akhir dari siklus karbon.

Seperti dikutip dari situs warta lingkungan hidup www.enn.com, pohon melepaskan simpanan CO2-nya saat ia membusuk atau terurai. Hal ini kemudian memunculkan siklus karbon.

Temperatur yang semakin tinggi akibat perubahan iklim tidak hanya meningkatkan laju pertumbuhan pohon dan tanaman di seluruh dunia, tapi juga memicu emisi CO2 yang berlebihan. Pohon kemudian berubah peran dari penyerap CO2 menjadi produsen gas karbon lewat proses penguraian yang lazim terjadi pada musim-musim akhir pertumbuhannya.

Bukti terbaru yang dikumpulkan dari seluruh dunia menunjukkan bahwa awal musim dingin terjadi mundur dari biasanya, sementara musim panas datang lebih awal. Di Bumi belahan Utara, temperatur pada musim semi dan musim gugur naik sekitar 1,1 dan 0,8 derajat Celsius dalam kurun waktu sekitar 2 dekade terakhir. Ini artinya musim pertumbuhan pohon semakin lama, dan para ahli menduga hal tersebut sebagai hal yang bagus buat menekan laju perubahan iklim.

Bahkan pertambahan pohon di muka Bumi bisa terlihat dari luar angkasa, citra satelit menunjukkan bahwa luasan hijau semakin besar di permukaan Bumi dari masa sebelumnya. Namun demikian, data terbaru menunjukkan bahwa pola berpikir seperti terlalu menyederhanakan masalah.

Sekitar 30 titik pengamatan yang tersebar di Siberia, Alaska, Kanada, dan Eropa diteliti kadar CO2 di lapisan atmosfernya. Yang dikaji bukan cuma CO2 saat proses fotosintesis tapi juga CO2 yang dilepaskan pohon dan mikroba selama proses respirasi.

Tim peneliti pun memusatkan penelitiannya pada musim gugur, masa ketika hutan berubah peran dari penyimpan karbon menjadi produsen karbon. Dan ternyata, periode mengurainya pohon datang lebih awal dalam satu tahun, di beberapa tempat menunjukkan awal periode terjadi beberapa hari lebih cepat sementara di tempat lain beberapa pekan lebih cepat dari biasa.

Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa jumlah CO2 di atmosfer bertambah lebih cepat dari perkiraan awal - dengan kata lain laju perubahan iklim akan terus meningkat pada masa mendatang.

Menurut Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), manusia hanya punya waktu 8 tahun untuk mencegah datangnya efek terburuk dari perubahan iklim. Namun waktu dan bukti-bukti ilmiah haruslah dijadikan umat manusia sebagai panduan untuk bertindak, dan tidak ada kata lain solusinya adalah menurunkan emisi gas rumah kaca, menurunkan emisi CO2.
(kapanlagi.com)

Hujan Asam Menghancurkan Bumi


Hujan yang normal seharusnya adalah hujan yang tidak membawa zat pencemar dan dengan pH 5,6. Air hujan memang sedikit asam karena H2O yang ada pada air hujan bereaksi dengan CO2 di udara. Reaksi tersebut menghasilkan asam lemah H2CO3 dan terlarut di air hujan. Apabila air hujan tercemar dengan asam-asam kuat, mak pH-nya akan turun dibawah 5,6 maka akan terjadi hujan asam.
Hujan asam sebenarnya dapat mencegah global warming, gas buang seperti SO2 penyebab hujan asam mampu memantulkan sinar matahari keluar atmosfer bumi sehingga dapat mencegah kenaikan temperatur bumi. Akan tetapi, efek samping dari hujan asam menghasilkan kerusakan lingkungan yang lebih parah dibandingkan global warming. Sebenarnya “hujan asam” merupakan istilah yang kurang tepat untuk menggambarkan jatuhnya asam-asam dari atmosfer ke permukaan bumi. Istilah yang lebih tepat seharusnya adalah deposisi asam, karena pengendapan asam dari atmosfir ke permukaan bumi tidak hanya melalui air hujan tetapi juga melalui kabut, embun, salju, aerosol bahkan pengendapan langsung. Istilah deposisi asam lebih bermakna luas dari hujan asam.

Sejarah

Fenomena hujan asam mulai dikenal sejak akhir abad 17, hal ini diketahui dari buku karya Robert Boyle pada tahun 1960 dengan judul “A General History of the Air“. Buku tersebut menggambarkan fenomena hujan asam sebagai “nitrous or salino-sulforus spiris“.
Selanjutnya revolusi industri di Eropa yang dimulai sekitar awal abad ke 18 memaksa penggunaan bahan bakar batubara dan minyak sebagai sember utama energi untuk mesin-mesin. Sebagai akibatnya, tingkat emisi precursor (faktor penyebab) dari hujan asam yakni gas-gas SO2, Nox dan HCl meningkat. Padahal biasanya precussor ini hanya berasal dari gas-gas gunung berapi dan kebakaran hutan.
Istilah hujan asam pertama kali digunakan oleh Robert Angus Smith pada tahun 1872 pada saat menguraikan keadaan di Menchester, sebuah daerah industri di Inggris bagian utara. Smith menjelaskan fenomena hujan asam pada bukunya yang berjudul “Air and Rain: The Beginnings of Chemical Technology“.
Masalah hujan asam dalam skala yang cukup besar pertama terjadi pada tahun 1960-an ketika sebuah danau di Skandinavia meningkat keasamannya hingga mengakibatkan berkurangnya populasi ikan. Hal tersebut juga terjadi di Amerika Utara, pada masa itu pula banyak hutan-hutan di bagian Eropa dan Amerika yang rusak. Sejak saat itulah dimulai berbagai usaha penaggulangannya, baik melalui bidang ilmu pengetahuan, teknis maupun politik.
Pada tahun 1970 US mulai mengontrol emisi SO2 dan Nox dengan peraturan pemerintah Clean Air Act. Peraturan ini menentukan standar polutan dari kendaraan bermotor dan industri. Pada tahun 1990 Congress menyetujui amandemen untuk lebih memperketat kontrol emisi yang menyebabkan hujan asam. Amandemen tersebut tercatat mempu mengurangi pengeluaran SO2 dari 23,5 juta ton menjadi sekitar 16 juta ton. US juga merencanakan untuk mengurangi emisi Nox hingga 5 juta ton pada tahun 2010.